Mengenal Lebih Dekat Syaikh Umar Bin Ahmad Baraja

Sumber: Laduni.id
NYANTRI--Syaikh ‘Umar Bin Ahmad Bārajā’ atau yang akrab disapa Syaikh ‘Umar Bārajā’ merupakan seorang tokoh dan ulama yang cukup populer, khususnya dikalangan para santri. Kepopuleran beliau tersebut berkat karya-karyanya yang hampir dipelajari oleh para santri seluruh Indonesia seperti kitab Al-Akhlāq Lil Banīn dan Al-Akhlāq Lil Banāt.
Syaikh ‘Umar Bin Ahmad Bārajā’ adalah seorang ulama yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Beliau lahir di kampung Ampel Maghfur, pada 10 Jumadil Akhir 1331 H/17 Mei 1913 M. Sejak kecil beliau diasuh dan dididik kakeknya dari pihak ibu, Syaikh Hasan bin Muhammad Barājā’, seoarang ulama ahli nahwu dan fiqih. Nasab Barājā’ berasal dari (dan berpusat di) Seiwun, Hadramaut, Yaman. Sebagai nama nenek moyangnya yang ke-18, Syaikh Sa’ad, laqab (julukannya) Abi Raja’ (yang selalu berharap). Mata rantai keturunan tersebut bertemu pada kakek Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kelima, bernama Kilab bin Murrah.
Pada masa mudanya, Beliau menuntut ilmu agama dan bahasa Arab dengan tekun, sehingga dia menguasai dan memahaminya. Berbagai ilmu agama dan bahasa Arab dia dapatkan dari ulama, ustadz, syaikh, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui surat. Para alim ulama dan orang-orang shalih telah menyaksikan ketaqwaan dan kedudukannya sebagai ulama yang ‘amil. Ulama yang mengamalkan ilmunya.
Beliau adalah salah seorang alumnus yang berhasil, didikan madrasah Al-Khairiyah di kampung Ampel, Surabaya, yang didirikan dan dibina Al-habib Al-Imam Muhammad bin Achmad Al-Muhdhar pada 1895. Sekolah yang berasaskan Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i.
Guru-guru Syaikh ‘Umar Bin Ahmad Bārajā’, antara lain, Al-Ustadz Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih (Malang), Al-Ustadz Muhammad bin Husein Ba’bud (Lawang), Al-Habib Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Abdullah Assegaf (Solo), Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Jufri (Pekalongan), Al- Habib Ali bin Husein Bin Syahab, Al-Habib Zein bin Abdullah Alkaf (Gresik), Al-Habib Ahmad bin Ghalib Al-Hamid (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhar (Bondowoso), Al-Habib Abdullah bin Hasan Maulachela, Al-Habib Hamid bin Muhammad As-Sery(Malang), Syaikh Robaah Hassunah Al-Kholili (Palestina), Syaikh Muhammad Mursyid (Mesir) – keduanya tugas mengajar di Indonesia.
Guru-gurunya yang berada di luar negeri diantaranya, Al-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, As-Sayyid Muhammad bin Ami n Al-Quthbi, As-Syaikh Muhmmad Seif Nur, As-Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, Al-Habib Alwi bin Salim Alkaff, As-Syaikh Muhammad Said Al-Hadrawi Al-Makky (Mekkah), Al-Habib Muhammad bin Hady Assegaf (Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Ahmad Al-Haddar, Al-Habib Hadi bin Ahmad Al-Haddar (‘inat, Hadramaut, Yaman), Al-habib Abdullah bin Thahir Al-Haddad (Geidun, Hadaramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiri (Tarim, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Hasan bin Ismail Bin Syeikh Abu Bakar (‘inat, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Ali bin Zein Al-Hadi, Al-Habib Alwi bin Abdullah Bin Syahab (Tarim, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Hamid Assegaf (Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Muhammad bin Abdullah AlHaddar (Al-Baidhaa, Yaman) , Al-Habib Ali bin Zein Bilfagih (Abu Dhabi, Uni Emirat Arab), As-Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthii’i (Mesir), SayyidiMuhammad Al-Fatih Al-Kattani (Faaz, Maroko), Sayyidi Muhammad Al-Munthashir Al-Kattani (Marakisy, Maroko) , Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad (Johor, Malaysia), Syeikh Abdul ‘Aliim As-Shiddiqi (India), Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (Mesir), Al-Habib Abdul Qodir bin Achmad Assegaf (Jeddah, Arab Saudi).
Beliau bertemu dengan guru-guru tersebut tidak hanya dalam proses belajar mengajar pada sebuah majelis, tetapi banyak dari mereka yang beliau hanya bertemu beberapa kali dan mengambil sedikit ilmu darinya sudah beliau anggap sebagai guru, inilah bukti dari sifat beliau yang tawadhu’. Bahkan tak sedikit dari dari mereka yang usianya jauh lebih mudah dari beliau.
Kepribadian Syaikh ‘Umar Bin Ahmad Bārajā’
Penampilan Syaikh ‘Umar Bārajā’ sangat bersahaja, tetapi dihiasi sifat-sifat ketulusan niat yang disertai keikhlasan dalam segala amal perbuatan duniawi dan ukhrawi. Beliau tidak suka membangga-banggakan diri, baik tentang ilmu, amal, maupun ibadah. Ini karena sifat tawadhu’ dan rendah hatinya sangat tinggi. Dalam beribadah, dia selalu istiqamah baik sholat fardhu maupun sholat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Sholat dhuha dan tahajud hampir tidak pernah dia tinggalkan walaupun dalam bepergian. Kehidupannya dia usahakan untuk benar-benar sesuai dengan yang digariskan agama.
Sifat wara’nya sangat tinggi. Perkara yang meragukan dan syubhat dia tinggalkan, sebagaimana meninggalkan perkara-perkara yang haram. Dia juga selalu berusaha berpenampilan sederhana. Sifat Ghirah Islamiyah (semangat membela Islam) dan iri dalam beragama sangat kuat dalam jiwanya. Konsistensinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, misalnya dalam menutup aurat, khususnya aurat wanita, dia sangat keras dan tak kenal kompromi. Dalam membina anak didiknya, pergaulan bebas laki-perempuan dia tolak keras. Juga bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam satu kelas.
Perjalanan Dakwah dan Wafatnya Syaikh ‘Umar Bin Ahmad Bārajā’
Syaikh ‘Umar Bin Ahmad Bārajā’ mengawali kariernya mengajar di Madrasah Al-Khairiyah Surabaya tahun 1935-1945, yang berhasil melahirkan beberapa ulama dan asatidz yang telah menyebar ke berbagai pelosok tanah air. Di Jawa Timur antara lain, almarhum al-ustadz Achmad bin Hasan Assegaf, almarhum Al-Habib Umar bin Idrus Al-Masyhur, almarhum al-ustadz Achmad bin Ali Babgei, Al-habib Idrus bin Hud Assegaf, Al-habib Hasan bin Hasyim Al-Habsyi, Al-habib Hasan bin Abdul Qodir Assegaf, Al-Ustadz Ahmad Zaki Ghufron, dan Al-Ustadz Dja’far bin Agil Assegaf.
Selanjutnya, beliau pindah mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, Bondowoso. Berlanjut mengajar di Madrasah Al-Husainiyah, Gresik tahun 1945-1947. Lalu mengajar di Rabithah Al-Alawiyyah, Solo, tahun 19471950. Mengajar di Al-Arabiyah Al-Islamiyah, Gresik tahun 1950-1951. Setelah itu, tahun 1951-1957, bersama Al-habib Zein bin Abdullah Al-kaff, memperluas serta membangun lahan baru, karena sempitnya gedung lama, sehingga terwujudlah gedung yayasan badan wakaf yang di beri nama Yayasan Perguruan Islam Malik Ibrahim.
Selain mengajar di lembaga pendidikan, Syaikh ‘Umar Bārajā’ juga mengajar di rumah pribadinya, pagi hari dan sore hari, serta majelis ta’lim atau pengajian rutin malam hari. Karena sempitnya tempat dan banyaknya murid, dia berusaha mengembangkan pendidikan itu dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam atas namanya, Syaikh ‘Umar Bārajā’. Ini sebagai perwujudan hasil pendidikan dan pengalamannya selama 50 tahun. Hingga kini masih berjalan di bawah asuhan Ustadz Mushtofa bin Ahmad bin ‘Umar Bārajā’, cucu beliau. Yang sebelumnya diasuh oleh Al-Ustadz Ahmad bin ‘Umar Bārajā’. Dan telah melahirkan alumni-alumni yang sukses di bidang dakwah, di antaranya Habib Idrus bin Muhammad Alaydrus.
Salah satu karya monumentalnya adalah membangun Masjid Al-Khair di Surabaya pada tahun 1971, bersama KH. Adnan Chamim, setelah mendapat petunjuk dari Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul) dan Al-habib Zein bin Abdullah Al-Kaff (Gresik). Masjid ini sekarang digunakan untuk berbagai kepentingan dakwah masyarakat Surabaya.
Pada saat sebelum mendekati wafatnya, Syaikh ‘Umar Bārajā’ sempat berwasiat kepada putra-putra dan anak didiknya agar selalu berpegang teguh pada ajaran ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dianut mayoritas kaum muslim di Indonesia dan Thariqah ‘Alawiyyah, bermata rantai sampai kepada ahlul bait Nabi, para sahabat. Semuanya bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syaikh ‘Umar Bārajā’ memanfaatkan ilmu, waktu, umur, dan membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai akhir hayatnya. Beliau memenuhi panggilan Rab-nya pada hari Sabtu malam Ahad tanggal 16 Rabiuts Tsani 1411 H/3 November 1990 M pukul 23.10 WIB di Rumah Sakit Islam Surabaya, dalam usia 77 Tahun. Keesokan harinya, Ahad ba’da Ashar, jenazah Beliau dimakamkan, setelah dishalatkan di Masjid Agung Sunan Ampel yang diimami putranya sendiri yang menjadi khalifah (penggantinya), Al-Ustadz Ahmad bin ‘Umar Barājā. Jasad mulia itu dikuburkan di makam Islam Pegirian Surabaya. Prosesi pemakamannya dihadiri ribuan orang.
Sumber: Muhammad Achmad Asseggaf. Sekelumit riwayat hidup Al-Ustadz Umar bin Achmad Baradja, (Surabaya: Panitia Haul ke-V. 1995).
Nikmatul Choiriyah, “Etika Peserta Didik Perspektif Syekh Umar bin Achmad Bardja dalam Kitab Al-Akhlaq Lil Banat”, Skripsi, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2014).
Yofi Suma Bitra
