Ketika Sodrun Skakmat Kiai
Sumber: NU Online
NYANTRI--Sodrun adalah seorang abdi ndalem (santri yang mengabdi kepada Kiai) yang bertugas menghidangkan daharan (makanan) untuk Kiai. Kini Sodrun tampak bingung, sebab sebentar lagi Kiai akan kembali dari mengajar kitab di aula pondok, dan ia belum menyiapkan makanan. Tak lama sang Kiai kembali dari aula.
“Cung!” panggil sang Kiai kepada Sodrun.
Sodrun segera menghadap. Tak perlu bertanya. Ia sudah mengetahui maksud sang Kiai memanggilnya.
“Maaf, Kiai, tadi bakda Isya waktu Kiai mucal (mengajar) di aula, ada seorang fakir mengetuk rumah dan meminta makanan.” Tuturnya dengan lirih dan penuh takzim.
“Lalu?” dawuh sang Kiai sembari meletakkan kitab yang ia ajarkan tadi dan duduk di kursinya.
“Saya kasihkan semua makanan kepada si fakir itu, Kiai.” Sambung Sodrun dengan kepala tetap menunduk dan tangan mengapit menempel kedua lututnya.
“Berapa orang tamu itu?” tanya Kiai.
“Cuma satu, Kiai.” jawabnya singkat.
“Kok, kamu kasihkan semuanya?”
“Karena tempo hari lalu, Kiai ngendikan bahwasanya apa yang di sisi Allah itu lebih berharga berkali-kali lipat daripada apa yang kita punya. Dan jika seorang hamba meyakini itu, maka ia telah beriman sepenuhnya kepada Allah.” Jelasnya kepada sang Kiai.
Sambil membenarkan posisi duduknya, sang Kiai berbicara dengan suara lebih lantang dari biasanya, “Cung, kamu itu santri yang keyakinannya sudah kayak gunung. Tapi ilmumu tidak seberapa dibanding air dalam gelas yang kupegang ini. Sangat sedikit. Kalau kamu kasihkan separuh makanan itu, dan kamu tinggalkan separuhnya lagi untukku, itu tidak masalah. Itu sudah cukup untukku. Besok jangan diulang lagi!”
“Sendika dawuh, Kiai.” Jawabnya sambil menahan rasa salah. Baru kali ini ia mendapat teguran setelah berpuluh tahun menjadi abdi ndalem. Segera ia menarik tangan kiai dan menciumnya lalu kembali ke dapur untuk segera membuat makanan cepat saji.
Saat Sodrun sedang sibuk menyiapkan makanan di dapur, tiba-tiba pintu ada yang mengetuk. “tok.. tok.. tok..”
Sodrun segera meninggalkan pekerjaannya di dapur menuju pintu lalu membukanya. Ternyata itu adalah seorang santri yang baru saja dijenguk orang tuanya dan mengantarkan rantang berisi nasi lengkap beserta laukpauknya. “Dari bapak saya untuk Abah (Kiai), Kang.” tutur santri tersebut seraya menyerahkan makanan itu pada Sodrun.
Bak menerima balasan surat dari santri putri, hati Sodrun sangat membuncah kegirangan. Ia segera menerimanya dan menghaturkan terima kasih. Setelah mengantarkan si santri tadi sampai pelataran ndalem (Rumah Kiai) ia segera bergegas masuk dapur. Dengan cekatan ia memindahkan semua isi rantang ke wadah masing-masing. Nasi ke wadah nasi. Lauk ke wadah lauk serta mengambil satu buah piring beserta mangkuk berisi air kran untuk cuci tangan lalu menghidangkannya kepada Kiai.
“Kiai. Ini dari wali santri.” tutur Sodrun lirih sambil meletakkan talam di atas meja.
“Kiai, Kulo (saya) akui ilmu Kiai itu sundul langit. Tapi, ngapunten, Kiai, panjenengan sedikit yakinnya. Hehe..” tutur Sodrun kembali dengan nada rendah dan sambil menunduk.
Mendengar hal itu dari santrinya, sang Kiai tertawa dan berkata, “Cung, ilmuku itu sangat jauh mengunggulimu, tapi kali ini yakinku masih kalah dengan yakinmu.”
Sumber: Pesantren.id
Yofi Suma Bitra