Sejarah

Empat Fase Perkembangan Pesantren Sarang (2)

Ilustrasi Pesantren Sarang
Ilustrasi Pesantren Sarang

Sumber: sendiko.net

NYANTRI--Pada fase perkembangan Pesantren Sarang putaran ke dua ini diasuh oleh Kiai Umar ibn Harun dan Kiai Syu’aib ibn Abdurrozak. Masa keduanya bak Majma’u al-Bahrain, bertemunya dua samudra keilmuan, ilmu syariat (Kiai Umar ibn Harun) dan ilmu hakikat (Kiai Syuaib ibn Abdurrozak).

Kiai Umar ibn Harun

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Beliau lahir di Sarang pada 1207 H/ 1855 M dari pasangan Harun dan Nyai Sento. Ia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, yaitu: Nyai Khadijah, Kiai Mahfudz, Kiai Khalil Kasingan, Kiai Shadiq. [Tim Karya Ilmiah MGS, Mengenal Lebih Dekat Masyayikh Sarang, Yogyakarta: Global Press, 2018, hal. 14-15]. Menurut sebuah sumber, Kiai Umar masih mempunyai hubungan nasasb dengan Sunan Belitung yang tidak lain adalah putra dari Sunan Bejagung (Sayyid Asy’ari). [Amirul Ulum. KH. Zubair Dahlan Kontribusi Kiai Sarang Untuk Nusantara & Dunia Islam, Yogyakarta: Global Press, 2018, hal. 77].

Keluarga Pak Harun sederhana dan sangat gemar bersedekah. Sebagai nelayan, Pak Harun hanya memiliki kapal keci (cukrik). Ngrukut (usai salat subuh), ia melepakan sauh kapalnya untuk mencari ikan di laut Karamangu hingga waktu dhuha. Hasil tangkapan ikan itulah yang menjadi rezeki kesehariannya. Jika sampai sore masih tersisa, maka Nyai Shinto akan membagi-bagikan hasil tangkapan itu kepada para tetangga. Untuk masalah rezeki besok, Pak Harun memasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Sifat wirai dan zahid dalam mencari nafkah semata-mata hanya ingin menjaga dirinya dan keluarganya agar jangan sampai memakan barang yang dapat menghalangi dirinya asyiq dalam beribadah kepada Allah. Bagi kaum sufi, menyimpan harta yang lebih dari sekedar kebutuhannya adalah tidak baik, meskipin dalam kaca mata fiqihnya hal tersebut adalah perkara yang halal, sah-sah saja. [Amirul Ulum, Kiai Khalil Kasingan dalam buku Ensiklopedi Pemuka Agama].

Kiai Umar meskipun terlahir dari keluarga yang sederhana, tidak membuatnya patah semangat dalam mencari ilmu. Ia selalu bersemangat mencari ilmu yang digelar di Pesantren Sarang, terlebih halaqah yang diasuh Kiai Ghazali ibn Lanah. Ia termasuk santri yang menonjol, terlebih dalam bidang gramatika Arab, seperti nahwu dan sharaf.

Kemudian melanjutkan mengaji kepada kyai Syarbini Karangasem, Sedan yang ahli riyadhah. Disini beliau mempelajari beberapa ilmu termasuknya: Fiqh, Kalam, Nahwu, Sorof dan lain-lain. Disini juga beliau melatih kejiwaannya dan mengamalkan Wirid dan Asma’ al-Husna yang mempunyai faedah-faedah keistiemwaan tertentu. Lalu beliau melanjutkan belajarnya kepada Kyai Kafrawi Merakurak Tuban (ayah Kyai Fathurrohman yang pernah menjabat sebagai mentri Agama RI).

Kemudian beliau melanjutkan studinya kepada kyai Sholeh Langitan Tuban selama setahun. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran agamanya ke Haramain (1310 H). Di Haramain beliau menimba ilmu agama dari beberapa ulama’ yang menggelar halaqah ada di sana, terlebih yang ada di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Seperti halaqah asuhan Syaikh Madah, Syaikh Abdul Hamid Syarwani, Syaikh Hasbullah ibn Sulaiman al-Jawi, Sayyid Ahmad al-Zawawi, Syaikh Muhammad Said Babashil al-Hadhrami (Mufti Syafi’iyyah di Makkah al-Mukarramah), Syaikh Umar al-Barakat, (murid Syaikh Ibrahim al-Baijuri), Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Sayyid Abu Bakar Syatha, dan Syaikh Nawawi al-Bantani. [Amirul Ulum. KH. Zubair Dahlan Kontribusi Kiai Sarang Untuk Nusantara & Dunia Islam, Yogyakarta: Global Press, 2018, hal. 86].

Sepulangnya dari rihlah, Kiai Umar ibn Harun disambut bahagia oleh Kiai Ghazali ibn Lanah. Setelah itu, beliau ditawari oleh Kiai Ghazali ibn Lanah untuk menjadi menantunya. Dengan penuh ketaatan, Kiai Umar memenuhi dawuh gurunya. Ia dinikahkan dengan Nyai Syamsirah. Dari pernikahan ini, ia tidak diberi keturunan, begitu juga dengan pernikahan keduanya.

Kealiman Kiai Umar ibn Harun dalam bidang Gramatika Arab ini diakui ulama sezamannya, salah satunya adalah Syaikhona Khalil Bangkalan (w. 1925 M). Suatu ketika, salah satu santri Kiai Umar ibn Harun yang bernama Ma’shum Ahmad (Mbah Ma’shum Lasem) berpamitan ingin melanjutkan belajarnya di Pesantren Kademangan yang diasuh Syaikhona Khalil Bangkalan, yang makruf dengan kewaliannya. Setelah diberi izin, berangkahlah ia menuju Kademangan. Sebelum sampai ke Kademangan, Syaikhona Khalil sudah mengetahui gelagat tersebut. Lalu, ia mengatakan kepada para santrinya, “Besuk saya sudah tidak mengajar nahwu lagi, yang mengajar nanti santrinya Kiai Umar Harun dari Sarang.” [Amirul Ulum, Muassis NU : Manaqib 26 Pendiri Nahdlatul Ulama, hal. 209-220].

Menurut Kiai Maimoen Zubair dalam Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniyyah bi Sarang Al-Qudama’, di antara santri Kiai Umar ibn Harun yang menjadi ulama berpengaruh adalah Kiai Khalil ibn Harun (Pengasuh Pesantren Kasingan), Kiai Fadhil ibn Harun (Pengasuh Pesantren Besutang), Kiai Shadiq ibn Harun, Kiai Mahfudz ibn Harun, Kiai Abdul Mufid ibn Shadiq Adipura, Kiai Baidlowi ibn Abdul Aziz al-Lasemi, Kiai Masyhudi Solo, Kiai Munawwar al-Senori, Kiai Muhaimin al-Lasemi, Kiai Zuhdi Pekalongan, Kiai Suyuti Rembang, Kiai Baijuri Rembang, Kiai Hasbullah ibn Sholeh Langitan, Kiai Abdurrahman Demak, Kiai Khalil Demak, Kiai Makruf Tuban, Kiai Abdussyakur, Kiai Abdul Hadi, dan lain-lain.

Perjuangan Kiai Umar ibn Harun dalam mengembangkan Pesantren Sarang sehingga menjadi ramai dan menjadi rujukan menuntut ilmu, diabadikan dalam sebuah syairnya yang dikutip oleh Kiai Maimun Zubair dalam Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniyyah bi Sarang Al-Qudama’:

قَدْ تَمَّ مَا رُمْنَا مِنَ الرِبَاطِ * وَفِيهِ كُلِّ فَائِزٍ قِبَاطِ

سَنَةُ اَلْفٍ مَعْ ثَلَاثَمِائَةٍ * عِشْرِيْنَ مَعْ اَرْبَعَةٍ مِنْ هِجْرَةٍ

نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ الرَّسُولِ * أَدِمْهُ يَا اَللهُ بِالقَبُولِ

وَقَفَهُ الفَقِيْرُ وَهُوَ النَّوَوِيْ. * نَاظِرُهُ عُمَرُ وَهُوَ مُسْتَوِيْ

“Sungguh telah sempurna pondok pesantren yang aku citakan

Setiap keberhasilan di dalamnya terdapat kemanisan

Pada tahun 1324 H

Dengan wasilah melalui Nabi kita, Muhammad yang menjadi utusan Allah

Lestarikanlah ia wahai Allah dengan Kau terima

Pesantren itu wakafan dari orang yang membutuhkan rahmat-Mu, yang bernama Nawawi

Sedangkan Umar adalah nadhirnya, dialah orang yang berpendirian teguh.”

Kiai Umar ibn Harun mencurahkan seluruh hidup jiwa dan raganya untuk berdakwah dalam mulang ngaji dan memajukan Pesantren Sarang. Rutinitas tersebut ia jalankan hingga kembali ke Rahmatullah pada 1328 H / 1910 M. Beliau dimakamkan di Stumbun tempat pemakaman Masyayikh Sarang.

Ibn Abad

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Patner Resmi Republika.co.id