Pribumisasi Islam di Jerman

Oleh: Dimas Sigit Cahyokusumo, Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM
NYANTRI--Di Jerman Islam termasuk agama yang minoritas dibandingkan dengan agama-agama yang lain. Tetapi meskipun begitu menurut beberapa pakar dan seiring berjalannya waktu Islam di Jerman mulai memperlihatkan perkembangannya. Sebenarnya Islam sudah masuk ke Jerman sejak abad ke-8. Mulai dari era kekuasaan Charlemagne, zaman literature Gothe, hingga pekerja Turki yang datang ke Jerman setelah perang dunia II berakhir (Mahavikri, 2021).
Faktanya, memang kaum Muslim sudah menjadi bagian dari kultur budaya Jerman sejak ratusan tahun. Adapun jumlah Muslim yang tinggal di Jerman saat ini mencapai lebih dari lima juta. Menurut kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF), asal dan religiositas menjadi jauh lebih beragam. Jumlah Muslim dengan latarbelakang migrasi di Jerman meningkat sekitar 900 ribu dalam enam tahun terakhir. Saat ini, jumlahnya antara 5,3 hingga 5,6 juta, sesuai dengan proporsi populasi antara 6,4 dan 6,7 persen (Kirana, 2021).
Muslim yang bermukim di Jerman rata-rata merupakan migrasi dari Turki. Namun lonjakan gelombang migrasi dari Suriah diperkirakan telah membawa pergeseran proporsi demografis Muslim Jerman. Arus migrasi kali ini merupakan yang terbesar sejak perang dunia II. Bersama pengungsi Afghanistan, Irak, serta negara-negara Muslim lainnya. Suriah menjadi kontingen terbesar. Jumlah mereka diperkirakan sekitar 45 persen dari total imigran.
Masuknya imigran Muslim Suriah digadang-gadang akan menggoyang wajah Islam di Jerman, yang hingga kini telah didominasi oleh Turki. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab sejak tahun 1960-an, komunitas Muslim Jerman memang telah didominasi oleh wajah-wajah Turki. Muslim Turki merupakan komunitas Muslim terbesar di Jerman. Pada tahun 1960 hingga 1970-an, ribuan pekerja Turki datang ke Jerman seiring kebangkitan dan kemajuan industri di Jerman. Dari 4 juta komunitas Muslim Jerman, sekitar 70 persennya adalah warga Turki (Sasongko, 2019).
Komunitas Muslim Turki merupakan arus utama di Jerman. Mereka bukan saja menetap untuk bekerja. Melainkan juga membentuk komunitas-komunitas keagamaan, pengajian dan masjid. Lebih dari 900 masjid dikelola oleh Diyanet Isleri Turk Islam Birlig (DITIB) sebuah organisasi agama pemerintah Turki di Eropa. Adapun konsentrasi terbesar orang-orang Islam asal Turki terdapat di Frankfrut dan Berlin, sehingga kota ini sering disebut beberapa kalangan sebagai “second largest Turkish city after Ankara” (Azra, 2005).
Banyaknya para imigran Muslim Turki ternyata menimbulkan sedikit masalah bagi pemerintah Jerman sendiri. Terutama keenganan Muslim Turki mengikuti budaya dan tradisi Jerman. Pasalnya, banyak diantara para imigran Muslim Turki berasal dari Anatolia, daerah pedalaman Turki yang tidak bisa berbahasa Jerman. Berbeda dengan orang-orang Turki yang berasal dari kota-kota besar seperti Istanbul dan Ankara, yang sejak awal kedatangannya sudah tersekularisasi secara intens.
Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya berjudul “Dari Harvard Hingga Makkah” terbit pada tahun 2005. Maka harus dimunculkan gagasan tentang “Islam Jerman”, yakni Islam yang tidak lagi berorientasi ke Turki atau Arab Saudi. Jika selama ini para imam atau khatib berasal atau didatangkan dari Turki, kini sudah waktunya bagi para imigran Muslim Turki untuk menghasilkan imam dan khatib mereka sendiri, yang diharapkan mampu menghadirkan Islam dengan konteks Jerman.
Wacana tentang “Islam Jerman” di kalangan para pemikir Islam di Indonesia merupakan wacana yang sama tentang “pribumisasi”. Islam yang berkembang mengikuti kontekstualisasi dari sosial dan budaya lingkungannya (Azra, 2005). Sebagaimana dikatakan oleh Gus Dur bahwa Islam perlu menyesuaikan diri dengan kondisi kultural dimana Islam itu ditempatkan. Bagaimana Islam mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi kultural yang berbeda-beda sekaligus berubah-ubah. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Seperti keislaman dan keindonesiaan, antara Islam dan wathoniyah atau ketanahairan (Jerman, Turki, Amerika, Rusia, serta China), adalah satu dan saling melengkapi, yang sifatnya komplementer (Izad, 2019).
Referensi:
Azra, A. (2005). Dari Harvard Hingga Makkah. Jakarta: Penerbit Republika.
Izad, R. (2019, Agustus 2). Gus Dur dan Warisan Pribumisasi Islam. Retrieved from gusdurian.net.
Kirana, A. (2021, April 29). Jumlah Muslim di Jerman Bertambah Satu Juta Dalam Lima Tahun Terakhir. Retrieved from suaradewan.com.
Mahavikri, A. (2021, Mei 14). Islam di Jerman: Hadirnya Allah di Tanah Kristus. Retrieved from Jermanesia.com.
Sasongko, A. (2019, Maret 28). Wajah Islam di Jerman. Retrieved from republika.co.id.
